Simarmata
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sekilas
Adalah putera sulung
Raja Isumbaon yang sebenarnya bernama Ompu Tuan Nabolon, namun sampai kini keturunannya dinamai pomparan
Nai Ambaton menurut ibu leluhurnya dan walaupun keturunan
Naiambaton sudah lebih dari 50 marga dan lebih kurang 20 generasi, sampai sekarang masih tetap mempertahankan
"ruhut bombong" yaitu peraturan yang tidak memperbolehkan perkawinan sesama marga yang termasuk seluruh marga
Nai Ambaton.
Nai Ambaton mempunyai 5 putera, tetapi ada pendapat yang mengatakan
tiga orang putera dan ada juga mengatakan empat orang (lebih banyak
orang yang mengikuti pendapat ini, termasuk literatur-literatur tua
seperti Buku WM Hutagalung yang dicetak pertamakali pada tahun 1926).
Meskipun ada perbedaan pendapat tetapi tentang jumlah dan marga-marga
yang termasuk keturunan Raja Nai Ambaton hampir semua sepakat. Tulisan
ini mengikuti pendapat yang mengatakan putera Nai Ambaton ada 4 orang,
masing-masing:
Simbolon Tua,
Saragi Tua,
Tamba Tua,
Munte
Tua. Dari keempat marga induk inilah lahir berpuluh puluh marga
keturunan Nai Ambaton. Saragi Tua mempunyai 2 orang putera yaitu Ompu
Tuan Binur dan Ompu Partumpuan (Ompu Saragi). Ompu Tuan Binur kawin
dengan Bunga Ria Boru
Manurung, puteri Raja
Manurung yang tinggal di negeri
Sihotang. Ompu Tuan Binur kemudian mendirikan kampung yang bernama Huta Namora di Rianiate, dekat
Pangururan
dan menjadi raja dari daerah sekitarnya. Ompu Tuan Binur mempunyai 4
orang putera yaitu Lango Raja, Saing Raja, Mata Raja dan Deak Raja, dan
kedua puterinya kawin dengan Sihotang Marsoit dan Limbong Naopatpulu.
- Ompu Simataraja Simarmata.
Putera ketiga dari Ompu Tuan Binur yaitu Simataraja, yang kemudian
kawin dengan puteri Raja Saudakkal dari Limbong Mulana, bernama Lahatma
boru
Limbong
Sihole, dan selanjutnya mereka tinggal didaerah bernama Simarmata,
sebagai bona pasogit dari seluruh keturunan Ompu Simataraja marga
Simarmata. Kapan persisnya Simataraja memakai marga Simarmata, kurang
jelas. Dari perkawinannya, Simataraja mempunyai tiga orang putera
yaitu:Halihi Raja, kawin dengan Naolo boru
Sihaloho dari Janji Maria Parbaba, Dosi Raja, kawin dengan Bungahom boru
Malau dari Rianiate, dan Datuktuk Raja kawin dengan Tiarma boru
Sinaga
Uruk dari Batu Upar, Urat. Kepada ketiga puteranya Simataraja
membagikan tanah sebagai tempat kediaman masing-masing beserta
keturunannya. Halihi Raja memperoleh Huta Uruk, Dosi Raja memperoleh
Huta Toguan(Toruan), dan yang bungsu Datuktuk Raja memperoleh Huta
Balian. Setelah Ompu Simataraja wafat, maka ketiga puteranya tetap
menjadi raja di negeri Simarmata dengan damai. Diduga ketiga Ompu ini
hidup sekitar tahun 1550. Dari ketiga putera Ompu Simataraja inilah
yang menurunkan marga
Simarmata dan
menyebar keseluruh pelosok, terutama ke daerah pantai Sumatera ditepian
pantai Danau Toba, baik kearah Timur, Tenggara maupun Barat, di
antaranya ke
Simalungun,
Karo,
Dairi,
Humbang,
Sibolga,
Barus dan selanjutnya ke
Pematang Siantar,
Binjai dan kota-kota lainnya di
Sumatera,
Jawa, bahkan ke seluruh
Indonesia dan
Dunia.
Bila diperhatikan sepintas, bahwa raja-raja penguasa tanah
Simalungun hanya terdiri dari empat marga yaitu
Saragih,
Damanik,
Purba dan
Sinaga, ada kesan bahwa keturunan Raja Nai Ambaton dari puteranya Saragi Tua, sudah cukup lama pergi ke tanah
Simalungun sehingga dapat menjadi raja. Keturunan Simataraja marga
Simarmata yang datang kemudian dapat diterima di
Simalungun
karena mengikuti marga dongan tubunya Saragi yang di Simalungun menjadi
Saragih. Belakangan setelah kekuasaan raja-raja berkurang, marga
Simarmata yang tadinya disebut marga
Saragih kembali memakai marga
Simarmata.
Namun mereka umumnya kesulitan untuk mengetahui siapa di antara ketiga
Ompu anak Simataraja, yang menjadi leluhurnya. Kebanyakan dari mereka
menempati pesisir pantai di hadapan Pulau
Samosir, seperti
Tigaras,
Haranggaol,
Silalahi
dan desa-desa disepanjang pantai tersebut. Konon kabarnya perpindahan
generasi ini sudah berlangsung antara tujuh sampai sepuluh generasi.
- Simataraja mengasihi adiknya Deak Raja dengan setulus hati.
Ketika ayah Lango Raja, Saing Raja, dan Simataraja meninggal, ibu mereka Ompu Bungaria boru
Manurung
sedang hamil (Marnadeak siubeon), kedua abang Simataraja bersikeras
agar warisan peninggalan Ompu Tuan Binur dapat dibagi secepatnya.
Tetapi Simataraja menolak dengan pertimbangan bahwa ibu mereka masih
hamil, mengandung calon adik mereka. Bagaimana warisan dapat dibagi
tiga, sebab kalau ternyata bayi yang akan lahir itu adalah laki-laki,
sesuai adat
Batak,
semuanya mempunyai hak yang sama. Simataraja meminta kepada
abang-abangnya agar pembagian warisan ditunda saja dulu, sampai ibu
mereka melahirkan. Permintaan Simataraja tidak disetujui oleh Lango
Raja dan Saing Raja. Mereka tetap bersikeras agar pembagian dilakukan
sekarang juga. Dengan perasaan sedih dan terpaksa Simataraja menyetujui
keputusan kedua abangnya, dan dia berjanji bila bayi yang akan
dilahirkan ibunya adalah laki-laki, maka warisan yang menjadi haknya
akan diberikan kepada adiknya itu. Keputusanpun dilaksanakan, warisan
dibagi tiga. Setelah tiba saatnya, ibu merekapun melahirkan seorang
putera yang diberi nama Deak Raja, dan sesuai janjinya Simataraja
memberikan warisan miliknya untuk adiknya yang sangat disayanginya
karena dia tidak sempat mengenal ayah mereka. Kemudian hari Deak Raja
menurunkan marga
Nadeak.
Kisah
ini dapat memberi pelajaran berharga bagi keturunan Simataraja, yang
sekarang ini dikenal sebagai marga Simarmata, agar tetap menghormati
yang lebih tua berupa tunduk kepada keputusan abangnya dan tidak
mementingkan harta, dengan memberikan warisannya kepada adiknya, dan
dia sendiri meninggalkan kampung halamannya di Rianiate dan pergi ke
daerah baru, yang sekarang ini dikenal sebagai negeri Simarmata.
- Simataraja unggul dalam hal komunikasi dan negosiasi.
Konon khabarnya bahwa di negeri Tamba, tempat tinggal keturunan
Tambatua, ada warisan peninggalan kakek Simataraja yaitu Saragi Tua dan
peninggalan ayahnya yaitu Ompu Tuan Binur. Mereka berempat, Lango Raja,
Saing Raja dan Simataraja beserta Deak Raja berunding untuk meminta
penjelasan tentang warisan yang menjadi hak mereka. Disepakati bahwa
yang menjadi utusan adalah Simataraja. Pada hari baik dan bulan baik,
berangkatlah Simataraja ke negeri Tamba dengan misi "patotahon" atau
"penegasan" bagian peninggalan ayah dan kakeknya. Kedatangan Simataraja
disambut dengan baik oleh dongan sabutuhanya dari keturunan si Raja Nai
Ambaton, yaitu Tamba bersaudara yang terdiri dari:Si Tonggor Dolok, Si
Tonggor Tonga-tonga dan Si Tonggor Toruan. Melalui acara marsisean
Tamba bersaudara bertanya tentang maksud dan kedatangan Simataraja,
yang di jawab bahwa kedatangan Simataraja adalah untuk bertanya tentang
warisan peninggalan kakek dan ayahnya yang ada di daerah Tamba. Tamba
bersaudara mengakui bahwa ada peninggalan Ompu Tuan Binur dan Saragi
Tua di daerah Tamba. Tamba bersaudara mengajak Simataraja ke Golat yang
ada di daerah Tamba, lalu mereka berikrar dan menyepakati mana yang
menjadi hak Tamba bersaudara dan mana yang menjadi hak keturunan Ompu
Tuan Binur. Setelah ikrar dipastikan, tercapai rasa puas, pada
masing-masing pihak, lalu mereka mengadakan pesta gembira, dengan
mengundang semua unsur Dalihan Natolu. Pada pesta tersebut mereka
mangalahat horbo sitingko tanduk, sijambe ihur, siopat pusoran namalo
marege di tonga alaman, melambangkan kegembiraan hati dan kerbau yang
mempunyai empat kaki melambangkan kesatuan mereka pinompar ni si Raja
Nai Ambaton Nabolon. Kisah tersebut memberi pesan bahwa Simataraja,
leluhur marga Simarmata adalah orang yang mempunyai kemampuan lebih
dalam hal berkomunikasi dan negosiasi, bila dibandingkan dengan
saudara-saudaranya. Dalam masyarakat Batak yang patrilineal, dimana
yang tertualah biasanya yang mewakili kepentingan keluarga. Simataraja
dapat memperoleh apa yang menjadi misinya, tanpa mendatangkan rasa
sakit hati kepada siapapun, malah justru merasa puas, karena
kemampuannya "marhata". Suatu bahasa diplomasi ala Batak yang penuh
dengan bahasa halus, umpasa-umpasa, tamsil, yang tidak dimiliki semua
orang.
Kemampuannya berkomunikasi sangat prima, artinya mampu
memilih kata yang tepat pada waktu yang tepat, dapat mengendalikan
emosi, mau mendengar pendapat orang lain, mampu melihat tidak hanya
yang tersurat, melainkan juga yang tersirat, mempunyai wawasan
pemikiran yang luas dan yang terutama mempunyai ketulusan hati. Semoga
keturunannya, SIMARMATA dapat mewarisinya.
- Simataraja tidak mau mempergunakan kesempatan dalam kesempitan.
Ada keturunan Raja
Turnip dan Raja
Siallagan, yang tinggal di
Simanindo. Mereka mendapat serangan dari marga
Purba dari
Simalungun. Serangan demikian hebatnya, yang mengakibatkan kalau ada keturunan
Turnip dan
Siallagan
yang tertangkap langsung di jadikan hatoban atau budak. Raja Turnip dan
Siallagan kewalahan dan butuh pertolongan. {Kalau marga lain bersama
Turnip, mungkin. Tapi kalau marga Siallagan bersama Turnip yang
mendapat serangan di Simanindo, perlu ditelusuri. Karena "bona pasogit"
marga Siallagan terdiri dari beberapa kampung di Siallagan yang
terletak di antara Ambarita dan Tuktuk Siadong, sekitar 18 km dari
Simanindo. Lumayan jauh. Terbentuk/berdirinya "harajaon Bius" di
Simanindo dan di Hutaginjang (Simanindo)adalah oleh marga-marga Turnip,
Sidauruk, Sitio, "paopat Boruna" Malau adalah atas "padan"
(perjanjian/kesepakatan) ke-empat marga tsb. Sedang kampung-kampung
tetangga Simanindo sebelum sampai ke Ambarita ialah Sangkal, mayoritas
Sidabalok, adik Sidabutar dan Sijabat, Sibatubatu mayoritas Napitu,
Janjimartahan mayoritas Rumahorbo dan Silahisabungan, Tolping mayoritas
Silahi Sabungan dan Sidabutar, Unjur mayoritas Ambarita (Manik) dan
Sidabutar. Sedang Ambarita dan sekitar sudah bercampur banyak
marga-marga Sidabutar, Sijabat, Manik, Silahi Sabungan, Naibaho,
Bakkara. Setelah itulah kampung Siallagan yang terkenal dengan
Batu-Kursi, tempat Raja-Raja menjalankan peradilan jaman dahulu-kala}.
Lalu diadakan Sidang Darurat yang memutuskan untuk meminta pertolongan
Simataraja, selaku dongan tubu, tetangga dan konon khabarnya juga
marpariban karena sama-sama helani ni Limbong. Utusan ditugaskan
menemui Simataraja, dan untuk menunjukkan rasa hormat mereka membawa
kuda Sigajanabara. Mendapat penjelasan dari utusan, Simataraja diyakini
dapat melepaskan mereka dari kesulitan, maka dia pun berangkatlah ke
Simanindo. Simataraja merancang strategy. Turnip dan Siallagan diminta
agar selama tujuh hari memintal tali ijuk. Kemudian selama tujuh hari
Turnip dan Siallagan agar jangan ada yang meninggalkan rumah.
Simataraja mau berjuang sendiri, mempertahankan Simanindo. Dia membuat
orang-orangan, sejenis ondel-ondel
Betawi,
yang dibuat mirip serdadu perang. Dipasang hanya pada malam hari,
antara Rahutbosi dan Simanindo. Suatu malam musuh yang
ditunggu-tunggupun datang, Simataraja siaga dengan tali ijuk di tangan,
mengontrol orang-orangan. Begitu musuh sudah masuk pada jarak yang
sesuai, tiba-tiba pengontrol ditarik mengakibatkan orang-orangan
bergerak, bergoyang-goyang seperti serdadu yang menyerang musuh.
Simataraja memberi komando seperti berperang. Musuh sangat kaget,
menghadapi situasi yang tidak terduga, maka posisi perahu mereka kalang
kabut, ada yang panik, ada yang tenggelam, ada yang melarikan diri.
Musuh sudah kalah, sebelum menyadari apa yang terjadi. Turnip dan
Siallagan sangatlah gembira. Pestapun diadakan, Simataraja diminta
kesediaannya agar mau tinggal bersama mereka. Simataraja menolak
permintaan dongan sabutuhanya, dengan ucapan:Marilah kita menempati
tanah masing-masing. Kemudian mereka bertiga "marpadan". Pesan dari
ceritera ini adalah
Simataraja tidak mau mempergunakan kesempatan
dalam kesempitan orang lain, tanah yang ditawarkan ditolak. Semoga
keturunannya marga Simarmata, jangan menjadi orang yang materialistis.
Tugu adalah monumen, pemersatu dan sebagai simbol leluhur marga,
sekaligus menegaskan bahwa pomparan ini, keluarga ini bukan "mapultak
sian bulu". Dengan memiliki monumen seorang keluarga Simarmata, tidak
soal dari mana dia berasal, berapa generasi moyangnya sudah pergi
merantau meninggalkan bonapasogit, dia tetap dapat berkata inilah
leluhurku, akulah cucunya.
Bonapasogit
adalah tanah kelahiran, kampung halaman, tempat ziarah, tempat perantau
melabuhkan rindu. Bonapasogit bagi keturunan Simataraja adalah tanah
Simarmata, suatu negeri di pulau Samosir. Kini tugu kebanggaan seluruh
pomparan, keluarga besar Ompu Simataraja, sudah berdiri tegak disebuah
desa, dinegeri Simarmata bernama Toguan, ditepi Danau Toba, seolah
melambai memanggil pulang anak cucunya untuk membangun bonapasogit
tercinta, seolah mengulurkan tangan menyambut kedatangan "pomparan"nya
dan berkata:Cucu-cucuku aku adalah leluhurmu, Simataraja Simarmata dan
Lahatma boru Limbong Sihole, Tugu ini adalah pemersatu bagimu
keturunanku, Tugu ini adalah tempat ziarah bagi kamu yang lelah, Tugu
ini adalah mata air bagi kamu yang rindu. Tugu mempunyai ketinggian 17
meter. Pada puncak tugu terdapat "tatuan" yaitu sejenis piring yang
terbuat dari kayu dan mempunyai "kaki" semacam penyangga. Dengan tatuan
ini pada masa lampau keluarga Batak makan bersama. Pada model tatuan
dipuncak tugu tersebut tidak lupa nasi putih. Tatuan berisi nasi putih
ini menggambarkan-menyimbolkan
"Pomparan Simataraja adalah sapanganan jala sada roha, seia sekata".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar